08 Juni 2009

Aku dan Sepeda

Aku punya mimpi... ingin mengelilingi dunia dengan sepeda. Tapi bukan sembarang sepeda. Aku hanya ingin bertualang sampai ke ujung dunia dengan Sento, sepedaku yang sudah ada sejak 12 tahun lalu. Sepeda yang kuraih setelah menang undian lomba gerak jalan Depsos dari Jalan Sudirman sampai ke Bundaran HI. Sepedaku yang kudapatkan pada penghujung akhir acara. Hadiah tertinggi dan hadiah penutupan lomba. Sepeda yang kudapat melalui nomor undian 3838, 12 tahun yang lalu saat umurku baru 11 tahun.

Lama aku mencampakkannya di garasi rumah. Sampai berdebu dan menjadi tempat menjemur lap-lap. Lama kutinggalkan ia di garasi yang gelap dan dingin tanpa pernah kupedulikan sama sekali. Sampai akhirnya aku tergerak memutar rodanya kembali. Malam itu, saat saudara-saudara sepupuku datang ke rumah dan merengek minta naik sepeda.

Berdebar jantungku dibuatnya. Masih bisakah aku mengendarainya? Masih maukah ia ditunggangiku?

Kayuhan pertama, jalanku oleng. Bergetar ke kanan dan kiri. Hampir saja kutabrak tong di persimpangan jalan. Tertegun hatiku. Apakah aku telah melupakan pelajaranku dulu? Bagaimana caranya naik sepeda yang kupelajari setahap demi tahap. Sendiri.

Sento adalah sepeda ketiga yang aku miliki. Sepeda pertama adalah sepeda roda tiga berwarna hijau. Sepeda yang selalu kukendarai di dalam rumah mengelilingi ruang tamu, garasi, sampai ke teras depan. Lalu mengambil ancang-ancang ke luar pagar. Bermain dengan teman-teman kecil saat aku di Makassar dulu. Sepeda keduaku, sebuah sepeda berwarna merah, warna kesukaanku kala SD. Sepeda dengan merk Paramount, lengkap dengan keranjang, boncengan, dan roda tambahan di kiri dan kanan. Roda-roda penyeimbang yang membuatku ditertawakan habis-habisanoleh teman-teman sekolah saat aku bermukim di Jakarta. Ah, betapa malunya aku...

Demi harga diri, perlahan kubuka salah roda kecil itu. Belajar keseimbangan sedikit demi sedikit. Lalu akhirnya kubuka roda terakhir yang ada di sisi kanan. Mati-matian belajar sepeda roda dua agar tak ditertawakan oleh teman-teman.

Tahun berganti tahun. Aku pun mendapatkan sepedaku yang sekarang. Sento namanya. Sepeda dengan gigi kanan 3 dan gigi kiri 6. Sepeda merk Eurobike plus tulisan Senator di bodinya yang berwarna biru. Tulisan made in Taiwan tertera di joknya. Sepeda yang sangat keren 12 tahun lalu yang berharga 1,5 juta rupiah kala itu. Ah, benar-benar beruntung aku mendapatkannya. Gratis!!

Aku pun mulai bertualang dengan sepedaku itu. Gagah rasanya menungganginya. Dia begitu spesial, aku sudah tahu itu sejak pertama melihatnya. Sebab ia yang memilihku untuk berada di tunggangannya. Ia yang memutuskan bahwa aku yang memilikinya, sama seperti kuda. Kuda yang memutuskan siapa penunggangnya.

Ah, tapi aku sempat mencampakkannya. Setelah kejadian mengerikan itu. Saat aku dikejar anjing-anjing komplek rumah yang jumlahnya sampai puluhan. Aku pun tak mengerti mengapa hari itu para anjing berkumpul. Mungkin sedang ada pertemuan. Menakutkan!

Kakiku pun sempat terluka karena kejadian itu. Berdarah-darah tapi bukan karena digigit anjing. Namun karena tergaret sadel sepeda. Perih sekali. Sejak itu aku pun berhenti bersepeda. Total! Tak mau aku dikejar lagi oleh anjing-anjing sinting itu. Kejadian itu semakin membuatku fobia pada makhluk berkaki empat, bergigi tajam, yang lidahnya kadang keluar menari-nari bersama liurnya. Yayik! Belum lagi bunyinya yang menyalak-nyalak. Guk guk guk... Grmmm...

Namun, malam itu, setelah terseok pada kayuhan pertama, aku putuskan mencoba lagi. "Kayuh aku! Putar rodaku!" begitu jerit Sento. Aku pun mengayuhnya... Setelah sekian tahun....

Saat itulah kusadari lagi nikmatnya berada di atas sepeda. Aku seperti TERBANG!!! Aku melayang!! Menembus angin dan gelap malam bercahaya lampu remang-remang. Kala itu... dalam hatiku berkata, "aku tak ingin berhenti! Aku ingin terus melaju bersamamu, Sento..."

Kini aku kembali terbang bersamanya. Kulengkapi peralatan sepedaku demi kenyamanan dan keamanan. Helm, bel sepeda, sarung tangan, jok empuk agar pantat tak gemeretuk, speedometer plus pengukur kalori, dan lampu untuk keamanan bersepeda malam hari. Mahal memang, namun apapun demi Sento. Demi persiapan mimpiku bersamanya, KELILING DUNIA!!!

Aku berlatih dan terus berlatih. Walau kecepatanku masih kalah dari mang-mang penjual siomay, sayur, atau ikan yang menggenjot sepeda, namun tak apa. Sebab aku sedang belajar dan akan terus berkembang! Bukan kecepatan yang kuingini, tapi kenikmatan yang kucari. Kenikmatan berputar di atas dua roda itu. Sensasi terbang dan membelah angin serta pengalaman baru dari setiap perjalananku.

Oh, paha dan betisku... bersabarlah! Aku akan melatih kalian agar dapat bertahan lebih lama dan tidak kejang otot dibuatnya. Sento, bersemangatlah! Ayo kita jalani mimpi ini bersama. Kau dan aku bersama melihat dunia! Bersama menebarkan kebaikan kemanapun kita menjelajah. Entah itu menyingkirkan batu atau paku di jalanan, membantu orang tersesat, menyapa para pengendara sepeda atau pejalan kaki yang terlihat lelah.

Aku mempunyai sebuah mimpi... Mengelilingi dunia menggunakan sepeda. Sebuah sepeda istimewa yang kumiliki 12 tahun lalu. Sebuah sepeda bernama Sento Senator.

Jakarta, 5 April 2009

(*Ranny Rastati Chibi, a life time learner)

1 komentar:

  1. bagus nie udah nulis petualangannya.. nanti aa menyusul chib...

    BalasHapus