11 Juni 2009

Touring Sepeda Jakarta-Sentul-Jakarta 10 April 2009

Tanggal: 10 April 2009
Waktu tempuh: 6.51.41

Jarak tempuh: 93,55 km
Kecepatan rata-rata: 13,6 km/jam
Kecepatan maksimal: 41,2 km/jam
Kalori: 880,7
Rute: Pasar Rebo-Cimanggis-Juanda-Raya Bogor-Cibinong-Sentul-terminal Baranangsiang-Raya Bogor-Cimanggis-Ciracas-Cijantung-Pasar Rebo

Sebelum berangkat touring, penting untuk mempersiapkan kondisi sepeda. Periksa ban sepeda, jangan sampai gundul atau kempes. Jangan lupa juga untuk meminyaki rantai sepeda agar rantai tidak lepas di tengah jalan. Sepeda juga perlu dibersihkan dulu agar tampil lebih prima, hehehe. Perlengkapan yang sebaiknya dibawa adalah pompa, lampu (untuk persiapan perjalanan malam hari), air minum, dan jangan lupa pakai helm untuk keselamatan. Perlengkapan tambahan seperi speedometer juga perlu agar kita tahu kecepatan dan jarak yang sudah ditempuh. Bagi yang melengkapi sepedanya dengan spion, boleh juga tuh! Sebab terkadang kendaraan di jalan agak beringasan... kudu berhati-hati!

Start dari rumah, Pasar Rebo, Pk.07.00 WIB. Berkumpul dengan Lukman dan Bekti di depan Giant Cimanggis. Lalu ke rumah Yossy di Taman Duta karena Lukman mau cek komputer Yossy sebentar. Setelah dari rumah Yossy yang memakan waktu hampir satu jam, kami pun berangkat ke rumah Catur via jalur offroad yang nembus di jalan Juanda, Depok. Waw, seru juga! Lewat perkampungan dan waduk. Kami lalu menuju jalan Raya Bogor dan mampir ke rumah Catur sebelum bertolak ke Sentul.

Jalanan pagi itu agak lengang karena sedang libur nasional, tanggal merah. Tak lama, di jalan Raya Bogor km 39, kami bertemu dengan rombongan Ontel Depok yang mau ke Kebun raya Bogor. Jumlahnya ratusan kali yaaa!! Ramai banget!!!! Jadi kami ikut beriringan aja dengan mereka. Lebih ramai, lebih seru, lebih ayik! Salut deh sama mereka, meskipun mayoritas sudah sepuh tapi masih semangat menggenjot! Wow...!!!! d(^____^)b Namun sayang sekali, kami berpisah di perempatan. Mereka lurus menuju arah Kebun raya Bogor dan kami belok kiri ke arah Sentul. Hati-hati di jalan ya... ^^

Pk. 11.00 WIB kami tiba di sirkuit Sentul. Waw!! Benar-benar menakjubkan!! Akhirnya sampai juga di sini. Oleh karena sebentar lagi sholat Jumat, maka kami pun mencari rumah makan terdekat. Tibalah kami di sebuah warung nasi Anugrah milik bapak Mahmudin dan ibu Ida. Warung makannya sederhana, namun dilengkapi dengan kamar mandi, ruang sholat, dan dapur. Wajah mereka awalnya agak takjub melihat kami yang menggunakan sepeda. usut punya usut, ternyata jarang sekali mereka melihat orang yang touring sepeda ke Sentul. "Kalau motor sih banyak, neng. Sering lewat sini, tapi sepeda kayaknya ibu baru liat yang ini..." ujar ibu Ida yang diamini oleh bapak Mahmudin.

Mereka juga tambah syok setelah tahu kalau kami dari jakarta. "Wah, nggak capek neng, genjot sampai sini?" tanya bapak Mahmudin. "Wah, jangan ditanya, pak! Dengkul udah pegel ni! Hahaha" jawab kami serempak. "Tapi, karena udah suka jadi kami menikmati... Sekalian kampanye Global Warming juga, agar polusi tidak terlalu parah..." lanjut kami. Mungkin karena kasihan melihat wajah kami yang kelaparan, mereka pun mempersilahkan kami makan porsi besar dengan harga standar. Wah, baik sekali!! Aku makan nasi perkedel (nambah pula, jadi dua piring! Hahaha... aib, aib ;p) hanya seharga Rp7.000; plus teh hangat dan air putih. Murah kan?! hehehe ^^ Lukman, Bekti, dan Catur pun menumpang mandi di warung mereka sebelum sholat Jumat di mesjid yang ada di sebelah warung Anugrah. Setelah sholat di warung, aku pun numpang tidur sambil menunggu teman-teman selesai sholat Jumat. Hwehehe... =pSambil istirahat kami pun ngobrol-ngobrol dengan mereka. Ternyata rumah mereka ada dekat sirkuit Sentul, tepat di belakang Indomaret. Dengan ramah mereka pun menawari kami untuk menginap di rumahnya kalau kami kemalaman di jalan. Hiks hiks... hatiku sangat terharu dengan kebaikan hati mereka. Semoga bahagia selalu, bapak dan ibu. Dan semoga mendapat rezeki yang banyaaaak!!!! amin amin. ^^

Pk.13.00 WIB kami berangkat menuju Rainbow Hills. Jalanannya berkelok-kelok dan menanjak seperti jalur ke Puncak. Kami pun mengayuh dengan santai, walau terkadang aku terpaksa turun dari sepeda dan mendorong sepeda ke atas tanjakan. Hahaha. Setelah beristirahan sejenak di antara pepohonan di pinggir jalan, kami pun turun dari Sentul karena waktu sudah menunjukkan Pk.15.00. Takut kemalaman sampai di Jakarta.

Perjalanan pulang terasa lebih mudah karena jalanan menurun. Sayang sekali saat itu aku gak bawa kacamata hitam, sebab debu bertebaran dimana-mana sehingga kadang aku memejamkan mata sejenak menahan perih sambil mengayuh sepeda. Jalur yang kami tempuh saat pulang melalui terminal Baranangsiang Bogor-jalan Raya Bogor-Cimanggis-Ciracas-Kelapa Dua. Beberapa kali kami bertemu pesepeda lainnya yang sedang touring sore. Kring... kring... kring, kami saling membunyikan bel sepeda sebagai tanda salam. Di Kelapa Dua kami berpisah ke jalur masing-masing menuju rumah. Perjalananku masih butuh 8-9 km lagi melalui Kelapa Dua-Ciracas-Cijantung-Pasar Rebo. Entah kenapa, perjalanan pulang aku begitu bersemangat. membayangkan rumah yang hangat, keluarga, dan tentunya tempat tidur membuatku ngebut hingga 25 km/jam agar segera tiba di rumah. Tepat Pk.18.30 WIB aku pun tiba di rumah disambut ayah, ibu, dan kakak yang tak sabar mendengar kisah perjalanan touring. Alhamdulilah... nice trip! ^^

Jakarta, 11 April 2009

(*Ranny Rastati Chibi, a life time learner)






09 Juni 2009

Jelajah Bromo-Surabaya-Bandung

Jelajah ini adalah salah satu perjalanan yang tak bisa dilupakan. Sebab, ini adalah pertama kali aku pergi tanpa "pemandu" atau seseorang yang tahu jalan. Apalagi aku pergi bersama tiga orang teman Korea yaitu Sua, Mina, dan Miseon. Bisa dibilang perjalanan ini agak nekat karena hampir tanpa persiapan dan tanpa peta! Kami cuma bermodal arahan via telepon dari Jiyi, seorang teman backpacker, yang kira-kira isinya begini "dari bandara Juanda, Surabaya, naik damri ke terminal. Trus naik bis ke Probolinggo sampai mentok! Ganti naik angkot sampai Bromo. Nah, di sana banyak penginapan. Ratenya mulai Rp70.000;/ malam. Tinggal pilih. OK! Hati-hati di jalan ya!" Klik. Tut... tut... tut.

Kami pun berangkat ke Surabaya menggunakan pesawat Lion Air, penerbangan pertama dengan harga tiket Rp567.000/ orang (PP, harga promo). Take off sekitar Pk.06.30 WIB dan tiba di Surabaya sekitar Pk.08.00 WIB. Begitu turun dari pesawat, kami segera ke pusat informasi untuk menanyakan transportasi alternatif ke Bromo. Tak perlu menunggu bagasi karena hanya membawa satu ransel plus daypack saja. Praktis. Ternyata di bandara ada fasilitas shuttle bus langsung ke Bromo dengan tarif berkisar Rp1.500.000;-Rp2.000.000;/ bis untuk sekali jalan. Oleh karena budget kami yang tidak cukup, akhirnya kami kembali ke rencana semula, naik transportasi umum.

Di pintu keluar bandara Juanda, ada loket bagian bis Damri yang langsung ke Terminal Buyer Asih dengan tarif Rp10.000;/ orang berangkat pada Pk.09.00 WIB. Sebelum masuk ke terminal, kami dikenakan retribusi sebesar Rp200;/ orang. Dalam terminal yang mirip Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, ini terdapat banyak bis plus kenek yang cukup agresif yang siap sedia menarik perhatian para calon penumpang untuk naik bis mereka. Walaupun kami memesan tiket bis AC seharga Rp25.000;/ orang, namun pada kenyataannya hanya Angin Cepoi-Cepoi (AC) saja ditambah dengan fasilitas TV yang memutar video dangdut. Aduhay... Goyang teruuuus!!!! ;p Sepanjang perjalanan ke Terminal Probolinggo, yang memakan waktu sekitar 4 jam itu, banyak sekali pengamen yang naik turun ke dalam bis. Jadi, sebaiknya kita menyiapkan uang receh untuk berjaga-jaga. Di kiri kanan jalan tampak rumah penduduk, warung-warung, serta sawah. Sering kami jumpai sapi-sapi di sekitar lapangan yang berdekatan dengan sawah.

Kami tiba di tujuan terakhir pada pukul 1 siang. Setelah membayar retribusi terminal seharga Rp200;/ orang, kami menuju terminal khusus ke arah Bromo yang letaknya bersebelahan dengan Terminal Probolinggo. Jenis angkot yang ke Bromo mirip Elf yang di Bandung. yang memuat sekitar 10-12 orang dengan tarif Rp12.500;/ orang sampai ke penginapan. Selain jumlah angkot yang sangat sedikit, jam keberangkatan tergantung dari penuh atau tidaknya penumpang. Menurut sopir angkot itu, setidaknya memakan waktu sekitar 2 jam agar seluruh bangku penumpang terisi dan angkot pun bisa berangkat ke Bromo. Hal tersebut mereka lakukan demi penghematan bahan bakar, agar tidak merugi. Demi menghemat waktu, kami dan 3 orang turis asal Belanda memutuskan mencarter angkot tersebut seharga Rp25.000;/ orang dan diantar langsung ke penginapan yang memakan waktu sekitar 2 jam.

Ada banyak pilihan hotel di Bromo. Dari yang rate Rp50.000 sampai di atas Rp300.000;. Namun, sayangnya penginapan yang berharga Rp50.000;-Rp70.000; tidak memiliki kamar mandi dalam, jadi harus bergantian dengan tamu lain. Kami lalu memutuskan menginap di Hotel Cemara Indah dengan rate Rp250.000;/ malam untuk 4 orang. Hotel yang pemandangannya langsung mengarah ke 3 rangkaian pegunungan, Gunung Semeru, Gunung Bromo, dan Gunung Batok. Indah sekali! Udara pun terasa dingin, namun menyegarkan!! ^_____^

Pihak hotel pun menawarkan sewa jip untuk rencana esok hari seharga Rp250.000;/ jip yang bisa diisi 6-7 orang. Jalurnya adalah ke Gunung Pananjakan untuk melihat matahari terbit, lalu bertolak ke Gunung Bromo, dan kembali ke hotel. Pihak hotel pun membangunkan kami pada Pk.03.00 WIB untuk persiapan dan berangkat pada Pk.03.30 WIB. Jarak yang ditempuh dari hotel sampai ke Panajakan membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Suasana sunyi dan sepi dibalut kegelapan malam yang tanpa cahaya. Namun, satu hal yang membuatku sangat terpesona adalah hamparan bintang-gemintang di langit yang tampak bagai mutiara bertaburan. Banyak sekali dan sangat mengangumkan! Berulang kali kami meminta agar sopir jip menepi sejenak agar kami dapat memandang bintang. Pada beberapa titik dalam perjalanan kami menuju Pananjakan, sopir jip berhenti sejenak. Mengeluarkan tangan atau kepalanya melalui jendela mobil, menengok ke kanan, lalu menyenandungkan sebuah doa-doa kepada dewa. Saat aku bertanya kepada sopir, apa yang ia lakukan, ia bilang itu sebagai salam untuk masuk ke Bromo kepada dewa-dewa. Jalan menuju Pananjakan berkelok-kelok dan menanjak seperti jalanan menuju Puncak. Tapi bedanya, di tempat ini suasana sangat gelap dan kita tidak bisa melihat apa-apa selain jalanan yang terkena lampu sorot mobil.

Kira-kira Pk.04.30 WIB kami tiba di Gunung Pananjakan. Wah, suasana sudah sangat ramai dengan jip-jip dari wisatawan lainnya. Kala itu selain turis lokal, banyak juga turis yang berasal dari Jepang, Korea, Amerika, hingga negara-negara di Eropa. Tak disangka, udara di daerah itu sangat dingin. Bahkan membuat tangan dan hidungku mati rasa! Padahal aku sudah menggunakan pakaian 3 lapis plus jaket tebal. Namun tetap saja gigi gemerutuk karena dingin. Maka kami pun menyewa jaket sangat tebal yang dijajakan para penyewa jaket seharga Rp10.000;/ jaket yang dikembalikan setelah turun dari gunung.

Di kaki gunung Pananjakan terdapat banyak toko-toko kecil yang menjual benda-benda tradisional. Banyak pula warung makan yang menyediakan nasi, mie, serta kopi bagi para pengunjung. Ada juga yang berjualan jaket, syal, dan sarung tangan. Setelah mampir sejenak ke dalam warun gkopi, kami pun berangkat ke area untuk melihat matahari terbit. Tempatnya berada sekitar 200 meter ke atas yang ditempuh dengan berjalan kaki. Sesampainya di atas, wah... super dingin sekaliiii!!! Kata Sua bahkan sama seperti musim dingin di Korea!! Tanganku beku, hidung juga rasanya seperti mau copot. Brrrr....

Di saat seperti itu, aku menyadari bahwa baterai kameraku habis. Mau men-charge di hotel, namun sayang sekali di kamar tidak ada colokan listrik. Untungnya, tiba-tiba muncul penjual baterai kamera yang menjual baterai AA seharga Rp10.000;/ buah. Walaupun harganya lebih mahal, namun rasanya tertolong sekali. Syukurlah... ^___^

Semua orang, dari berbagai suku bangsa berkumpul bersama untuk memandang matahari terbit yang konon kabarnya sangat indah jika dilihat dari Pananjakan. Di utara adalah Gunung Semeru sedangkan di sebelah kanan adalah Gunung Bromo. Sekitar Pk.05.00-Pk.06.40 WIB perlahan-lahan matahari mulai muncul. Orang-orang pun bersorak kegirangan. Namun sayang, pagi itu kabut tampak menguasai pegunungan, jadi bias cahaya agak tertahan dan tak bersinar dengan maksimal. Setelah matahari meninggi, semua orang bersiap kembali ke jip masing-masing dan menuju ke pemberhentian berikutnya, Bromo. Kendaraan pun seperti sedang berkonvoi, meninggalkan Pananjakan yang bersinar pagi ini.

Kira-kira 30-45 menit kemudian kami tiba di Gunung Bromo. Di sana sudah menanti para penunggang kuda yang siap menyewakan kudanya dari kaki gunung hingga atas Gunung Bromo. kembali lagi ke bawah dan memutari pura yang berada di lembah Gunung Bromo. Harga sewa kuda bervariasi mulai dari Rp40.000;-Rp75.000;. Pintar-pintar kita menawar. Untungnya kami mendapatkan harga sewa Rp40.000;/ kuda. Kudaku berwarna putih, imut sekali... dan mengingatkanku pada impian para gadis, bertemu pangeran berkuda putih. Hehehe. Namun, bagi yang tidak ingin naik kuda, perjalanan pun bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi, lumayan juga jalannya... menanjak dan di sisi kanan adalah jurang... Wew... Jadi harus hati-hati. Kira-kira 10-15 menit naik kuda, kami pun tiba di titik pemberhentian pertama. Hanya sampai di sini kuda bisa menanjak ke gunung Bromo, untuk melanjutkan pendakian kita harus naik meniti anak tangga untuk melihat kawah gunung Bromo yang kaya akan belerang. Hati-hati, setelah sampai di atas jangan menghirup nafas dalam-dalam karena aroma belerangnya sangat menyengat!! Bisa batuk-batuk dan sesak nafas kalau terlalu banyak mencium bau belerang. Uhuk uhuk...

Kami berada di atas sekitar satu jam. Ternyata kami bertemu lagi dengan turis asal Belanda teman seperjalanan kemarin saat menuju penginapan. Mereka terdiri dari ibu dan dua anak, perempuan dan laki-laki. Rencananya setelah dari Bromo mereka akan menuju Bali. Matahari pun mulai beranjak naik. Kami memutuskan turun dan berputar sebentar di puri Bromo menggunakan kuda yang telah kami carter. Maksud hati masuk ke dalam puri, apa daya purinya dikunci dan hanya dibuka saat ada acara keagamaan. Jadi kami hanya berpose di pagarnya saja, hehehe. Di sekitar kaki gunung dan puri ada banyak penjual bunga Edelweis. Harganya berkisar antara Rp5.000-Rp20.000;/ buket. Jangan lupa untuk menawar, beli dua buket bisa turun harga menjadi Rp4.000;. Bahkan buket yang penataannya kurang rapi harganya bisa jatuh menjadi Rp2.000;/ buket.


Waktu menunjukkan Pk.09.30 WIB, kami pun diajak kembali ke hotel oleh sopir jip yang kami carter. Sebenarnya jip disewa hanya sampai Pk.09.00 WIB dan itu sudah harus kembali ke hotel. Tapi untung saja sopir jipnya baik sekali, jadi kami dapat ekstra 1 jam dan tidak diminta biaya tambahan. Tipsnya hanya satu, yaitu harus ramah dengan sopir jip ^_____^. Ajak ngobrol, tanyakan kabar keluarganya, dan bersikap sopan, dengan begitu dia akan ikhlas mengantar kita dan sekalian menjadi tour guide yang mau menjelaskan setiap tempat dengan detail. Pemandangan sepanjang perjalanan kembali ke hotel pun sangat indah. Dengan ramah sopir jip memberitahukan kami spot foto yang paling indah dengan latar belakang gunung Bromo dan gunung Batok.

Kami tiba di hotel sekitar Pk.10.30 WIB, langsung menuju cafe hotel untuk makan pagi. Di cafe kami dihampiri oleh seorang bapak yang menawarkan carter mobil dari hotel ke Surabaya seharga Rp600.000; termasuk biaya tol, bensin, dan sopir, plus dicarikan hotel murah di Surabaya. Oleh karena terlalu mahal, kami pun menawar menjadi Rp400.000; dengan embel-embel "maklum, pak, anak sekolah..." ditambah wajah memelas. Hehehe ;p. Untung bapak itu baik, jadilah beliau setuju dengan harga Rp400.000;. Kami pun check out dari hotel pada Pk.12.00 WIB menuju Surabaya. Bagi teman-teman yang ingin naik angkot, jangan khawatir, sebab angkot akan menjemput para penumpang dari hotel ke hotel. Namun, biasanya mereka ada hanya saat pagi, menunggu penumpang, dan berangkat ke terminal Probolinggo setelah selesai jam makan siang. Jadi jangan sampai ketinggalan.

Perjalanan kami dari Bromo ke Surabaya terasa lebih nyaman dan cepat. Sore hari sekitar Pk.15.00 kami sudah tiba di hotel Tanjung Indah, Surabaya dengan rate Rp150.000;/ malam dengan twin bed dan makan pagi untuk dua orang yang langsung di antar ke kamar. Kami pun tinggal menambah satu extra bed seharga Rp30.000/ bed plus makan pagi untuk 1 orang. Kamarnya cukup bersih plus fasilitas TV, kulkas, lemari, meja kerja, dan bath tube. Hotel ini terletak di pusat kota dan dekat dengan Tunjungan Plaza, pusat perbelanjaan paling besar dan populer di Surabaya. Plaza ini terletak di jalan Basuki Rachmat hingga jalan Embong Malang. Perjalanan dari hotel ke Tunjungan Plaza pun dapat dicapai dengan jalan kaki sekitar 15 menit, bisa lewat jalan raya atau memotong jalan. Bila belum tahu jalan, tinggal bertanya ke polisi yang berseliweran di jalanan. Para polisi di Surabaya sangat ramah dan siap sedia membantu warganya. Jangankan polisi, satpam gedung, tukang parkir, penjual makanan, dan sopir angkot sangat ramah pada kami. Di Tunjungan Plaza, selain Matahari Department Store, di Tunjungan Plaza pun ada gerai Adidas, Guess, Banana Republic, ZARA, Starbucks, Coffee Bean, McD, Sogo, Raoul, GAP, jaringan bioskop 21, Gramedia, hingga butik-butik berkelas. Lengkap sekali!! Harganya pun jauh lebih murah dari harga di Jakarta. Apalagi saat itu sedang ada sale besar-besaran!! Hohoho. Sebenarnya kami mau berbelanja, namun sayang sekali tas kami sudah penuh dan tidak muat barang sekecil apapun lagi. Maklum, hanya membawa satu ransel dan daypack. Hikz. Jadilah setelah makan siang di McD, kami lanjutkan dengan wisata kuliner makanan tradisional Surabaya yang tersebar di sekitar plaza. Harganya pun miring sekali!! Contohnya saja harga bakso tusuk Rp50;/ buah. WOW!!!! Makan kenyang berempat hanya habis Rp2.000;!! Hohoho. Menyenangkan sekali!! hehehe.

Ada kejadian lucu saat kami berjalan-jalan di kota ini, yaitu jika ingin menyebrang jalan, kami harus memencet sendiri tombol lampu lalu lintas agar berubah dari hijau menjadi merah. Pantas aja, hampir 10 menit kami menunggu di samping lampu lalu-lintas, tapi lampunya tak kunjung berganti menjadi merah, hijau terus. Mau menerobos jalan, tapi kendaraan yang lewat amat sangat kencang, semua dengan kecepatan tinggi. Wew, berbahaya. Tak lama, seorang satpam gedung di belakang kami keluar dan memberitahu cara menyebrang jalan. Benar-benar baik sekali... ^_____^. Walau begitu, ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya. Yaitu ketika aku menggunakan payung pada siang hari karena cuaca di Surabaya sangat panas, matahari pun sangat terik, entah mengapa semua orang pasti melihat ke arahku dan tertawa geli. Bukan hanya satu, dua orang, tapi semuanya!! Bahkan ada pengendara yang menyempatkan diri berhenti dan bertanya "hujan ya, mbak?? hahaha". Tukang-tukang las ban juga ikut berteriak-teriak melihat aku yang memakai payung. Jangan-jangan hal ini tidak lazim ya?? Ternyata beda budaya dengan penduduk Jakarta, panas dan hujan pasti menggunakan payung.

Waktu yang sangat singkat di Surabaya ini, hanya satu malam, membuat kami sulit untuk mengunjungi tempat lain selain Tunjungan Plaza dan sekitarnya. Sebab besok siang kami sudah harus ke bandara dan kembali ke Jakarta. Malamnya pun hanya kami lalui di kamar hotel sambil menonton TV dan tentu saja, tidur... zzZZz.

Pagi-pagi sekitar Pk.07.00 WIB petugas hotel membawakan makan pagi ke kamar kami. Nasi goreng tiga piring plus teh manis tiga gelas. Untung saja kalau pagi makan kami sedikit, jadi jatah makan tiga orang kami lebur dalam satu piring dan dimakan berempat. Hehehe. Pk11.00 WIB kami pun check out dan langsung menuju bandara Juanda menggunakan taksi selama kira-kira 20 menit untuk naik penerbangan Pk.13.00 WIB. Namun ternyata pesawat kami delay karena alasan teknis. Jadilah kami menunggu di bandara hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Sebab, para penumpang yang seharusnya sudah berangkat Pk10.00 WIB juga terkena delay sehingga baru bisa berangkat pada Pk.13.00. Penumpang Pk.13.00 pun harus menunggu penerbangan berikutnya yang dijadwalkan sore hari. Astaga!! Kami pun menjadi lemas sebab tak ingin terlalu malam tiba di Jakarta. Namun, Tuhan berbaik hati pada kami. Beberapa menit sebelum pesawat berangkat, beberapa orang petugas maskapai datang dan mengumumkan free seats bagi yang tidak memiliki bagasi. Dengan kata lain para penumpang yang tidak memiliki bagasi dapat langsung memasuki pesawat menuju Jakarta. Dengan disigap aku segera berlari menuju petugas seraya berkata "free seats 4 orang..". Baru saja selesai berkata itu, aku langsung diserbu para penumpang yang berebutan ingin naik. Untung saja petugas menarik tanganku dan mendahulukan kami. Namun, ternyata free seats hanya berlaku untuk penumpang yang seharusnya berangkat Pk.10.00 WIB sedangkan tiket kami adalah Pk.13.00 WIB. Akan tetapi, situasi yang membuat pengaturan penumpang harus secepat mungkin, petugas pun mengizinkan kami masuk ke dalam pesawat. Fiuh... syukurlah!! Alhamdulillah.

Sekitar Pk.15.00 WIB kami tiba di Jakarta. Perut lapar karena tak sempat makan siang membuat kami mampir di salah satu kedai makanan Indonesia di bandara. Setelah itu bergegas ke tempat pembelian tiket bus Damri menuju terminal Kampung Rambutan. Lalu menuju ke rumah dan kos masing-masing sebelum melanjutkan perjalanan esok hari menuju Bandung.

Sekitar Pk.08.00 WIB kami berkumpul di rumahku untuk persiapan berangkat ke Bandung. Atas kebaikan hati papa dan mama, mereka pun meminjamkan mobil beserta sopir, mensubsidi biaya tol, sopir, dan bensin. Berkat relasi mamaku yang berteman baik dengan Kepala Panti Tuna Netra Wiyataguna-Depsos Bandung, kami pun diizinkan menginap gratis di guest house panti itu. Wah, benar-benar beruntung! "Terima kasih, ma dan pa!! Juga kepala Panti Tuna Netra Wiyataguna". Setelah dua jam perjalanan, kami tiba di Bandung, tepatnya di guest house panti. Walau tak bertemu dengan Kepala Panti sebab beliau sedang dinas luar kota, kami beramah-tamah dengan para pegawai panti. Kami juga erkenalan dengan seorang bapak penjaga guest house yang berbaik hati menjadi guide kami selama di Bandung.

Pertama-tama kami berangkat menuju Museum Geologi Bandung. Di museum ini tersimpan benda-benda geologi seperti fosil dinosaurus, meteor, kerang, stalagtit-stalagmit, tengkorak mausia, dan batu-batuan, yang dikumpulkan di Indonesia sejak tahun 1850. Museum yang didirikan sejak 16 Mei 1928 ini tidak memungut biaya masuk bagi para pengunjung. Buka setiap hari Pk.09.00-Pk.15.00 WIB dan libur pada hari Jumat. Setelah puas berkeliling di Museum Geologi, kami lalu makan siang di Youghurt Cisangkuy yang terletak tak jauh dari Museum Geologi, berhadapan dengan Taman Lansia. Tempat makan ini terkenal akan youghurtnya yang enak dan murah yaitu Rp9.500. Youghurtnya pun tersedia dalam berbagai rasa seperti coklat, anggur, leci, stoberi, dan mocca. Hmmm... segaaar!! Selain itu ada juga makanan yang mengenyangkan perut seperti burger, empek-empek, dan siomay.

Perut kenyang, semangat pun berkobar lagi. Kami melanjutkan perjalanan ke Maribaya, sebuah objek wisata alam yang terletak 7 km dari Lembang. Maribaya adalah nama seorang gadis yang sangat cantik. Saking cantiknya sehingga banyak pemuda kampung yang memperebutkan hatinya. Oleh karena kecantikan putrinya, ayah Maribaya pun menamakan tempat ini Maribaya, sebab tempat ini dulunya sangat indah. Di objek wisata ini terdapat air terjun Maribaya yang berasal dari Curug Omas. Untuk masuk ke objek wisata ini, kami membayar Rp1.500;/ orang. Sebelum menemukan air terjun Maribaya, kami harus melewati jembatan panjang berwarna kuning. Setelah menemukan air terjun, kami pun melanjutkan treking menuju Taman Hutan Raya Insinyur Juanda untuk berkunjung ke Gua Belanda dan Gua Jepang.

Sepanjang jalan menuju Gua Belanda dan Jepang kami disuguhi pemandangan eksotis berupa pohon-pohon, hutan, dan sungai yang mengalir di lembah. Beberapa kali pun kami berpapasan dengan para penduduk yang sedang mengangkat kayu bakar, atau penduduk yang sedang menunggang kudanya. Wow!! Namun, setelah berjalan kaki selama lebih dari dua jam, kami belum juga sampai ke tempat yang ingin kami tuju. Kami pun sering tertinggal jauh dari guide kami yang berjalan cepat sekali. Hampir 3 jam kami berjalan baru menemukan Gua Belanda.










Berikut ringkasan perjalanan dan biayanya:


# Hari 1 (Sabtu, 21 Juli 2007)

1. Pesawat Surabaya-Jakarta-Surabaya: Rp567.000;/ orang
2. Pajak bandara: Rp30.000;/ orang
3. Damri ke Terminal Buyer Asih: Rp10.000;/ orang
4. Retribusi terminal: Rp200;/ orang
5. Bis ke Terminal Probolinggo: Rp25.000;/ orang
6. Retribusi terminal: Rp200;/ orang
7. Carter angkot ke Bromo sampai hotel: Rp25.000;/ orang
8. Hotel Cemara Indah, Bromo: Rp250.000;/ kamar/ malam (untuk 4 orang plus kamar mandi dalam dan pemanas air+ makan pagi untuk 4 orang).
Jadi masing-masing Rp62.500;/ malam/ orang
9. Makan sore: sekitar Rp15.000/ orang

Total biaya hari pertama: Rp734.900;


# Hari ke-2 (Minggu, 22 Juli 2007)

1. Sewa jip dari hotel-Pananjakan-Bromo-hotel: Rp250.000;/ jip.
Jadi masing-masing Rp62.500;/ orang
2. Tiket masuk ke Bromo: Rp6.000;/ orang (turis lokal) dan Rp25.000;/ orang (turis mancanegara)
3. Sewa jaket untuk di Pananjakan: Rp10.000;/ orang
4. Baterai AA untuk kamera: Rp20.000/ 2 buah
5. Naik kuda dari kaki gunung Bromo sampai Bromo: Rp40.000;/ kuda
6. Cinderamata bunga Edelweis: Rp8.000;/ 2 buah
7. Carter mobil Kijang Bromo-Surabaya (sampai hotel): Rp400.000;/ mobil.
Jadi masing-masing Rp100.000;/ orang
8. Makan siang di warung: Rp10.000;
9. Hotel Tanjung Indah, Surabaya: Rp150.000;/ malam (twin bed, bath tube, AC, TV, makan pagi untuk 2 orang).
Extra bed di Hotel Tanjung Indah, Surabaya: Rp30.000;/ extra bed plus makan pagi untuk 1 orang.
Total hotel: Rp180.000;/ malam, jadi masing-masing Rp45.000;/ orang
10. Makan malam: Rp15.000;/ orang

Total biaya hari ke-2: Rp306.500;


# Hari ke-3 (Senin, 23 Juli 2007)

1. Makan pagi di McD Tunjungan Plaza: Rp25.000;
2. Taksi dari hotel-bandara Juanda: Rp60.000;. Jadi masing-masing Rp15.000;/ orang
3. Pajak bandara Juanda: Rp30.000;/ orang
4. Makan sore di bandara Soekarno Hatta: Rp15.000;
5. Damri bandara- Terminal Kampung Rambutan: Rp15.000;/ orang
6. Angkot dari Terminal Kampung Rambutan ke rumah: Rp2.000;

Total biaya hari ke-3: Rp102.000;


# Hari ke-4 (Selasa, 24 Juli 2007)

1. Tol Jakarta-Bandung (keluar Tol Pasteur): Rp37.500; (GRATIS)
2. Biaya bensin: Rp150.000; (GRATIS)
3. Biaya sopir: Rp100.000; (GRATIS)
4. Guest house di Panti Tuna Netra Wiyataguna-Depsos, Bandung: GRATIS
5. Makan siang: Rp10.000;
6. Guide Bandung: Rp50.000;/ 1,5 hari. Jadi masing-masing Rp12.500;
7. Museum Geologi: GRATIS
8. Makan siang di Youghurt Cisangkuy: Rp25.000;
9. Maribaya: tarif masuk Rp1.500;/ orang
10. Masuk Taman Hutan Raya Ir. Djuanda (Gua Belanda dan Gua Jepang): Rp3.000;/ orang
11. Sewa senter: Rp10.000;/ buah. Dibagi 4 jadi Rp2.500;/ orang
12. Guide gua: Rp5.000;/ orang. Dibagi 4 jadi Rp1.250;/ orang
13. Makan malam: Rp15.000;

Total biaya hari ke-4: Rp70.750;


# Hari ke-5 (Rabu, 25 Juli 2007)

1. Makan pagi: Rp10.000;
2. Taksi dari guest house ke Terminal Bis Leuwi Panjang, Bandung: Rp20.000;
Jadi masing-masing Rp5.000;/ orang
3. Bis Bandung-Terminal Kampung Rambutan, Jakarta: Rp40.000;/ orang
4. Angkot dari terminal ke rumah: Rp2.000;

Total biaya hari ke-5: Rp57.000;

#TOTAL biaya keseluruhan: Rp1.271.150;

(*Ranny Rastati Chibi, a life time learner)

08 Juni 2009

Aku dan Sepeda

Aku punya mimpi... ingin mengelilingi dunia dengan sepeda. Tapi bukan sembarang sepeda. Aku hanya ingin bertualang sampai ke ujung dunia dengan Sento, sepedaku yang sudah ada sejak 12 tahun lalu. Sepeda yang kuraih setelah menang undian lomba gerak jalan Depsos dari Jalan Sudirman sampai ke Bundaran HI. Sepedaku yang kudapatkan pada penghujung akhir acara. Hadiah tertinggi dan hadiah penutupan lomba. Sepeda yang kudapat melalui nomor undian 3838, 12 tahun yang lalu saat umurku baru 11 tahun.

Lama aku mencampakkannya di garasi rumah. Sampai berdebu dan menjadi tempat menjemur lap-lap. Lama kutinggalkan ia di garasi yang gelap dan dingin tanpa pernah kupedulikan sama sekali. Sampai akhirnya aku tergerak memutar rodanya kembali. Malam itu, saat saudara-saudara sepupuku datang ke rumah dan merengek minta naik sepeda.

Berdebar jantungku dibuatnya. Masih bisakah aku mengendarainya? Masih maukah ia ditunggangiku?

Kayuhan pertama, jalanku oleng. Bergetar ke kanan dan kiri. Hampir saja kutabrak tong di persimpangan jalan. Tertegun hatiku. Apakah aku telah melupakan pelajaranku dulu? Bagaimana caranya naik sepeda yang kupelajari setahap demi tahap. Sendiri.

Sento adalah sepeda ketiga yang aku miliki. Sepeda pertama adalah sepeda roda tiga berwarna hijau. Sepeda yang selalu kukendarai di dalam rumah mengelilingi ruang tamu, garasi, sampai ke teras depan. Lalu mengambil ancang-ancang ke luar pagar. Bermain dengan teman-teman kecil saat aku di Makassar dulu. Sepeda keduaku, sebuah sepeda berwarna merah, warna kesukaanku kala SD. Sepeda dengan merk Paramount, lengkap dengan keranjang, boncengan, dan roda tambahan di kiri dan kanan. Roda-roda penyeimbang yang membuatku ditertawakan habis-habisanoleh teman-teman sekolah saat aku bermukim di Jakarta. Ah, betapa malunya aku...

Demi harga diri, perlahan kubuka salah roda kecil itu. Belajar keseimbangan sedikit demi sedikit. Lalu akhirnya kubuka roda terakhir yang ada di sisi kanan. Mati-matian belajar sepeda roda dua agar tak ditertawakan oleh teman-teman.

Tahun berganti tahun. Aku pun mendapatkan sepedaku yang sekarang. Sento namanya. Sepeda dengan gigi kanan 3 dan gigi kiri 6. Sepeda merk Eurobike plus tulisan Senator di bodinya yang berwarna biru. Tulisan made in Taiwan tertera di joknya. Sepeda yang sangat keren 12 tahun lalu yang berharga 1,5 juta rupiah kala itu. Ah, benar-benar beruntung aku mendapatkannya. Gratis!!

Aku pun mulai bertualang dengan sepedaku itu. Gagah rasanya menungganginya. Dia begitu spesial, aku sudah tahu itu sejak pertama melihatnya. Sebab ia yang memilihku untuk berada di tunggangannya. Ia yang memutuskan bahwa aku yang memilikinya, sama seperti kuda. Kuda yang memutuskan siapa penunggangnya.

Ah, tapi aku sempat mencampakkannya. Setelah kejadian mengerikan itu. Saat aku dikejar anjing-anjing komplek rumah yang jumlahnya sampai puluhan. Aku pun tak mengerti mengapa hari itu para anjing berkumpul. Mungkin sedang ada pertemuan. Menakutkan!

Kakiku pun sempat terluka karena kejadian itu. Berdarah-darah tapi bukan karena digigit anjing. Namun karena tergaret sadel sepeda. Perih sekali. Sejak itu aku pun berhenti bersepeda. Total! Tak mau aku dikejar lagi oleh anjing-anjing sinting itu. Kejadian itu semakin membuatku fobia pada makhluk berkaki empat, bergigi tajam, yang lidahnya kadang keluar menari-nari bersama liurnya. Yayik! Belum lagi bunyinya yang menyalak-nyalak. Guk guk guk... Grmmm...

Namun, malam itu, setelah terseok pada kayuhan pertama, aku putuskan mencoba lagi. "Kayuh aku! Putar rodaku!" begitu jerit Sento. Aku pun mengayuhnya... Setelah sekian tahun....

Saat itulah kusadari lagi nikmatnya berada di atas sepeda. Aku seperti TERBANG!!! Aku melayang!! Menembus angin dan gelap malam bercahaya lampu remang-remang. Kala itu... dalam hatiku berkata, "aku tak ingin berhenti! Aku ingin terus melaju bersamamu, Sento..."

Kini aku kembali terbang bersamanya. Kulengkapi peralatan sepedaku demi kenyamanan dan keamanan. Helm, bel sepeda, sarung tangan, jok empuk agar pantat tak gemeretuk, speedometer plus pengukur kalori, dan lampu untuk keamanan bersepeda malam hari. Mahal memang, namun apapun demi Sento. Demi persiapan mimpiku bersamanya, KELILING DUNIA!!!

Aku berlatih dan terus berlatih. Walau kecepatanku masih kalah dari mang-mang penjual siomay, sayur, atau ikan yang menggenjot sepeda, namun tak apa. Sebab aku sedang belajar dan akan terus berkembang! Bukan kecepatan yang kuingini, tapi kenikmatan yang kucari. Kenikmatan berputar di atas dua roda itu. Sensasi terbang dan membelah angin serta pengalaman baru dari setiap perjalananku.

Oh, paha dan betisku... bersabarlah! Aku akan melatih kalian agar dapat bertahan lebih lama dan tidak kejang otot dibuatnya. Sento, bersemangatlah! Ayo kita jalani mimpi ini bersama. Kau dan aku bersama melihat dunia! Bersama menebarkan kebaikan kemanapun kita menjelajah. Entah itu menyingkirkan batu atau paku di jalanan, membantu orang tersesat, menyapa para pengendara sepeda atau pejalan kaki yang terlihat lelah.

Aku mempunyai sebuah mimpi... Mengelilingi dunia menggunakan sepeda. Sebuah sepeda istimewa yang kumiliki 12 tahun lalu. Sebuah sepeda bernama Sento Senator.

Jakarta, 5 April 2009

(*Ranny Rastati Chibi, a life time learner)

29 Mei 2009

A Life Time Learner

Hidup adalah petualangan.
Dan disetiap petualangan ada pembelajaran tentang kehidupan yang membuat kita semakin kaya akan pengalaman.
Apapun bentuknya, berapapun jaraknya, petualangan itu akan menambah pundi-pundi kebijaksanaan.
Itulah harta para petualang, harta para penjelajah.
Jelajahilah dunia dan setiap inchinya.
Kemanapun kakimu melangkah, cicipilah rasa dunia dan hiruplah aroma kehidupan.
Dan jadilah pembelajar seumur hidup.
A life time learner.

Jakarta, 29 Mei 2009 Pk.06.48 WIB

(*Ranny Rastati , a life time learner)